Katakanlah: ‘tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah [5]: 100)
Abdullah bin Mas’ud pernah berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian hidup di suatu zaman, di mana kebenaranlah yang mengendalikan hawa nafsu. Namun, kelak akan ada suatu zaman, di mana hawa nafsulah yang akan menguasai kebenaran.”
Wallahu a’lam, apakah yang beliau maksudkan adalah zaman seperti yang kita alami hari ini, atau masih ada zaman yang lebih parah lagi. Saat di mana hukum dan ajaran Islam menjadi asing bagi para penganutnya. Orang yang berpegang teguh terhadap kebenaran justru dianggap nyleneh dan ekstrim. Sebaliknya, para pecundang dianggap sebagai pahlawan, para pengumbar nafsu dijadikan panutan.
Kebenaran menurut mereka bukan lagi diukur dari apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) gariskan, tapi menurut kecenderungan orang kebanyakan. Keburukan adalah segala yang dianggap buruk oleh umumnya orang. Yang halal adalah yang dianggap halal oleh manusia. Yang haram adalah yang dianggap haram menurut mereka. Begitupun dalam mengukur yang ma’ruf dan yang munkar. Dan memang, umumnya manusia cenderung mengikuti arus besar yang melingkupi hidupnya. Ke mana arus itu mengalir, kesitu pula ia akan hanyut.
Banyak Tapi Sesat
Lewat ayat di atas, Allah SWT mengingatkan orang yang berakal, agar tidak mengukur baik buruknya sesuatu berdasarkan kecenderungan banyak orang.
Keburukan tidaklah berubah menjadi kebaikan dengan alasan banyak penggemar. Sesuatu yang haram juga tidak lantas boleh dianggap halal lantaran sudah banyak yang melakukan. Pun sebaliknya, baik dan benar tidaklah berubah statusnya menjadi buruk dikarenakan sedikitnya orang yang menjalankan.
Alangkah pentingnya ayat di atas dikumandangkan di zaman ini. Saat arus kebanyakan menjadi ukuran kebenaran. Bahkan, menjadikan suara kebanyakan sebagai parameter kebenaran itu telah menjadi ideologi dunia. Ideologi ini direpresentasikan oleh paham demokrasi yang meletakkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam segala aspek. Rakyat (terbanyak) berhak menentukan halal dan haramnya suatu perkara semau mereka. Ia adalah suatu paham yang mengukur kebenaran semata-mata dari banyaknya suara. Semboyannya adalah vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tsuhan. Benarkah suara terbanyak adalah representasi dari suara Allah SWT?
Bahkan, jika yang dimaksud dengan kalimat “kebanyakan” adalah mayoritas manusia, maka tidak kita dapatkan dalam al-Qur`an melainkan menunjukkan kualitas yang buruk. Seperti firman Allah “dan kebanyakan mereka tidak berakal” atau firman-Nya “akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.
Kalimat “kebanyakan” dalam al-Qur`an juga identik dengan cupetnya nalar, latah, gampang terpengaruh, ceroboh, tidak berpikir secara jernih, mudah lalai dan lengah, ikut arus, mudah terprovokasi dan mudah digiring opininya. Orang “kebanyakan” adalah golongan yang tidak peka, tidak pandai mengambil pelajaran dan tidak bersyukur kepada Allah SWT.
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Al-Baqarah [2]: 243)
Lebih dari itu, Allah SWT mengingatkan bahwa membeo kepada orang “kebanyakan”, berpotensi untuk terjerumus ke jurang kesesatan dan kesalahan,
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” ( Al-An’am [6]: 116)
Yang Benar, Biasanya Sedikit
Jika Allah SWT menghitung watak keburukan dengan kuantitas yang banyak, sebaliknya terhadap kaum yang dipuji, beriman, taat dan bersyukur, biasanya Allah SWT mensifatkannya dengan “qalil” (sedikit).
“…Dan tidak beriman kepada Nuh itu kecuali sedikit saja.” (Huud [11]: 40)
“…Tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” (Al-Kahfi [18]: 22)
“…Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan amat sedikitlah mereka ini.” (Shaad [38]: 24)
Kuantitas yang sedikit dari orang-orang yang lurus dan benar dapat kita lihat dari banyaknya ayat yang menyebutkan golongan tersebut dalam bentuk perkecualian. Seperti “…kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran”, juga “..kecuali orang yang shalat, yang rutin dalam shalatnya”, atau firman Allah “…kecuali orang-orang yang bertakwa” dan sebagainya.
Jadi, kita maklumi bahwa sesuatu yang dikecualikan lebih sedikit dari jumlah keseluruhannya.
Parameter Kebenaran
Begitulah, suara kebanyakan bukanlah patokan suatu kebenaran. Pendapat mayoritas rakyat bukan pula jaminan kebaikan. Bahkan sangat mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Suara rakyat bukanlah suara Tuhan, boleh jadi “suara rakyat adalah suara setan,” terutama di saat kerusakan, kesesatan dan kemaksiatan telah menjadi mental “kebanyakan.”
Betapapun masing-masing orang maupun kelompok mengklaim bahwa kebenaran berada di pihaknya, atau apa yang diperjuangkan adalah kebenaran adanya, yang pasti bahwa kebenaran hakiki diukur dari kesesuaiannya dengan apa yang telah digariskan dan ditetapkan hukumnya oleh AllahSWT.
“Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Rabbmu, sebab itu janganlah sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang ragu.” ( Yunus [10]: 94 )
Apa-apa yang disyariatkan oleh Allah SWT pasti benar dan adil, kendati kebanyakan manusia menolak dan menentangnya. Sebaliknya, apapun yang bertentangan dan tidak sejalan dengan apa-apa yang Allah SWT gariskan, ia adalah kesesatan. Kendati dipoles dengan gaya bahasa yang memikat, mendapat dukungan mayoritas rakyat, umum dilakukan masyarakat dan digembar-gemborkan oleh para pejabat. Banyaknya konsumen dan pelaku sesuatu yang haram, juga tidak mampu mengubah status keburukan menjadi kebaikan, atau kebusukan menjadi nilai kebagusan.
Orang yang berakal akan senantiasa menempuh jalan yang benar, meski jalan itu sepi dan lengang dari teman. Dan ia tetap konsisten pada kebenaran, saat kebenaran disambut oleh kebanyakan orang. Sikapnya tak akan berubah, karena kesetiaannya adalah pada kebenaran, bukan pada kebanyakan. Ia akan mengalir dan berputar kemanapun kebenaran itu mengalir dan berputar. Inilah kunci kebahagiaan dan kesuksesan. Karena itulah, Allah SWT menutup ayat itu dengan, “Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.”
Konsisten kepada kebenaran kapan pun dan di mana pun adalah realisasi takwa, sedangkan takwa adalah kunci tercapainya keberuntungan (al-falah). Syaikh Muhammad bin Shalih al-Ustaimin berkata, makna al-falah adalah tercapainya tujuan dan terhindar dari sesuatu yang dikhawatirkan. Kata ini juga mencakup kebahagiaan atau kesuksesan di dunia maupun akhirat.
Nah, jika kita ingin sukses berarti siap menyertai kebenaran di saat sepi dan dalam keramaian. Siap untuk terasing, tapi juga siap berbaur dengan orang kebanyakan, selagi kebenaran berada di pihak mereka. Wallahu a’lam bishawab.
*Abu Umar Abdillah, penulis buku tinggal di Solo. SUARA HIDAYATULLAH, SEPTEMBER 2009
*Abu Umar Abdillah, penulis buku tinggal di Solo. SUARA HIDAYATULLAH, SEPTEMBER 2009
Sumber : www.majalah.hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar