Jumat, 18 Februari 2011

3 Penyesalan Yang Akan Dialami Sekelompok Manusia


Dalam beberapa ayat, al-Quran menginformasikan peristiwa masa depan yang akan dialami sekelompok manusia di akhirat kelak. Berupa ‘penyesalan’ atas rekam jejak hidupnya yang jauh dari nilai Islam selama di dunia. Ungkapan penyesalan ini diabadikan dengan ungkapan “Ya Laitani”. Penyesalan yang hanya terucap, namun tidak bisa terwujud. Karena waktu sudah terlambat.
Boleh jadi, informasi ini memberikan pelajaran bagi yang masih hidup di dunia. Agar waspada,  jangan sampai penyesalan itu dialaminya di akhirat kelak. Masih lebih baik, jika penyesalan itu terjadi di dunia. Karena di dunia, masih ada kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Sebaliknya, penyesalan di akhirat tidaklah berguna, kecuali neraka jahannam.
Lalu, apa sajakah penyesalan-penyesalan yang akan dialami sekelompok manusia itu?, Jawabannya adalah sebagai berikut:
Penyesalan Pertama:  Penyesalan Saat Sakaratul Maut
Sakarat bisa diartikan sebagai mabuk akal atau hilang segala-galanya. Nabi berpesan, “Perbanyaklah ingat kepada yang memutuskan kelezatan dunia, yakni kematian”. Sakaratul maut pasti benar adanya, ia akan menghampiri setiap manusia. Banyak sebab terjadinya kematian, namun cuma satu yang pasti yakni sakaratul maut. Saat peristiwa ini, bertautanlah kedua betis pelakunya karena meregang nyawa akan dahsyatnya sakaratul maut.
Saat sakaratul maut tiba, terekamlah seluruh jejak perbuatan manusia, yakni perbuatan baik dan buruk. Bila yang muncul rekaman kebaikan, pelaku tidak akan merasakan takut, bahkan menyambut bahagia, karena akan mendapatkan pahala. Namun sebaliknya, bila yang muncul rekaman keburukan, baginya dihadapkan dengan kesengsaraan yang mengerikan. Ia pun akan menyesal dan berkata “Kembalikanlah aku, supaya aku bisa beramal sholeh dan bersedekah”. Namun sayang, penyesalan ini tiada berguna, azal tidak bisa ditunda dan dimajukan. Karena itulah, akhir segalanya.
Penyesalan Kedua: Penyesalan Saat Melihat Kawan Dekat Disiksa di Neraka
Sebagai makhlus sosial, setiap insan tidak lepas dari pertemanan dengan orang lain. Bahkan, karakter dan kepribadian seseorang tergantung dari teman / lingkungan dimana ia berada. Untuk itu, dianjurkan untuk berhati-hatilah saat mencari teman. Agama seseorang akan mengikuti agama teman dekatnya.
Baik buruknya pertemanan di dunia akan terekam jelas di akhirat kelak. Pertemanan yang didasari ketaatan dan kataqwaan, akan memberikan bantuan / pertolongan satu sama lain. Namun sebaliknya, pertemanan yang dijalin atas dasar kedurhakaan, akan menjadikannya permusuhan. Satu sama lain akan saling menuding sebagai penyebab masuknya ke neraka. Kelompok manusia ini akan menyesal dengan berkata, “Ampunilah dosa-dosa kami ya Rabb!”. Dalam QS: Azzukhruf 67, Allah mengatakan “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”
Penyesalan Ketiga: Penyesalan Saat Diperlihatkan Buku Catatan Amal
Setiap kita, didampingi dua malaikat yang bertugas mencatat seluruh amal kita, kapan dan dimana kita berada. Catatan ini akan terekam dalam buku catatan pribadi yang akan dibagikan di akhirat kelak. Mereka yang menerima catatan dengan rekam jejak yang buruk, akan merasa kaget, terbelalak dan menyesal. Mereka berkata, Apa-apaan ini ? Kenapa semua tercatat ? Kok saya pernah melakukan dosa ini ? Padahal saya sudah tidak ingat lagi. Mereka lupa bahwa semua  perbuatan di dunia sekecil apapun tercatat oleh Alloh SWT yang tercermin dalam catatan pribadi. Mereka pun menyesal, dan menginginkan kembali ke dunia untuk berbuat amal sholeh. Dan lagi-lagi, penyesalan ini sudah terlambat dan tiada berguna.
Bagaimana Menghindari Penyesalan Itu?
Peristiwa di atas adalah gambaran masa depan yang sudah diinformasikan kepada setiap manusia yang hidup di dunia. Pelajarannya, bagaimana agar kita tidak mengalami penyesalan itu. Solusinya, bertaubatlah selama masih diberi kesempatan hidup di dunia dan kembali ke pada ajaran islam. Orang yang hidup dalam suatu kebiasaan, maka ia akan dimatikan dalam kebiasaan itu, dan dibangkitkan dalam kebiasan itu. Jika kita membiasakan diri dalam nilai islam, maka kita akan dimatikan dan dibangkitkan dalam keadaan islam.
Begitu pun dalam mencari teman dan lingkungan, carilah yang bisa mengajak ke jalan Alloh sehingga bisa menyelamatkan diri di akhirat kelak. Selanjutnya perbanyak beramal sholeh agar catatan pribadi yang diterima kelak hasilnya baik dan menyenangkan.

Sabtu, 12 Februari 2011

RIYA’ DAN SUM’AH


Riya’ adalah lawan dari ikhlas, menampakkan ibadah dengan niat mencari pandangan manusia, sehingga pelakunya akan dipuji, dan dia mengkarapkan pujian dan pengagungan dan takut kehilangan hal itu. Sum’ah adalah beramal agar didengar orang. Sedangkan ujub merupakan sahabat riya’. Ibnu Taimiyah menerangkan perbedaan keduanya.
“Riya adalah perbuatan syirik dengan sebab makhluk, sedangkan ujub adalah perbuatan syirik dengan sebab diri sendiri.”
Adapun perbedaan antara riya’ dan sum’ah menurut Al-Hafizh, yaitu riya’ merupakan adanya amal yang diperlihatkan seperti shalat, sedangkan sum’ah merupakan amalan yang diperdengarkan seperti membaca, memberi nasihat, atau dzikir. Menceritakan amalnya (dengan maksud agar didengar) juga termasuk sum’ah.
Nabi bersabda : “
Yang paling aku atas kalian adalah syirik kecil. Mereka bertanya, ‘wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu? Beliau menjawab, ‘Riya.’ (Riwayat Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al-Baghawi)
Rasulullah juga bersabda,
أَلاَ أُخْبِرُ كُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِتْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ: يَقُوْمُ الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَ تَهُ لِمَا يَرَى مِبْ نَظَرَ رَجُلٍ
“Maukah kamu aku beritahu tentang sesuatu yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kamu daripada Al-Masih Ad-Dajjal.” Para sahabat menjawab, ‘Baiklah, wahai Rasulullah.’ Beliau pun bersabda, ‘Syirik tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri shalat, dia perindah shalatnya karena tahu ada orang lain yang memperhatikannya.’(Riwayat Imam Ahmad)
Riya’ murni, biasanya tidak akan terjadi pada orang mukmin dalam menjalankan kewajiban shalat dan puasa. Akan tetapi, terkadang terjadi dalam sedekah yang wajib atau ibadah haji, atau amal-amal lain yang zhahir atau yang bermafaat lebih banyak. Dalam amal-amal seperti itu, lebih berat untuk ikhlas. Tak diragukan lagi, jika seorag muslim melakukan yang demikaian akan menggugurkan ibadahnya dan mendapat siksa dari Allah. Terkadang pula orang beramal karena Allah tetapi dibarengi riya’. Jika hal itu terjadi sejak awal niat, maka hal itu sama dengan meniatkan ibadah kepada selain Allah. 
“Barangsiapa shalat dengan riya, maka benar-benar ia telah menyekutukan-Nya. Barangsiapa berpuasa dengan riya’, maka ia benar-benar telah menyekutukan-Nya. Barangsiapa bersedekah dengan riya’ maka ia benar-benar telah menyekutukan-Nya. Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Aku adalah sebaik-baik pengambil bagian bagi oarng yang membuat sekutu kepada-Ku. Barangsiapa membuat sekutu kepada-Ku dengan sesuatu, kebaikan amalnya –sedikit dan banyaknya– adalah untuk sekutunya yang dia sekutukan kepada-Ku dengannya. Aku adalah Maha Cukup untuk tidak menerimanya.” (Riwayat Ahmad)
OBAT RIYA’
Nabi bersabda :  “Tidaklah Allah menurunkan penyakit, kecuali dengan obatnya.” (Riwayat Bukhari), adapun obatnya antara lain adalah:
Hendaklah seseorang itu mengilmui dengan yakin bahwa dirinya adalah sekedar hamba Allah, sedangkan hamba itu tidak berhak menuntut pemberian atau balasan, sebab dia beramal itu hanya karena tuntutan peribadahan saja.
Hendaklah seorang hamba dalam beribadah kepada-Nya dengan penuh cinta, memohon pahala, dan takut terhadap murka-Nya.
Senantiasa instropeksi terhadap amalan, apakan dilakukan dengan ikhlas atau riya’.
Selalu mohon ampun pada Allah dan berlindung dari riya’.
Memperbanyak ibadah sunnah yang terjauh dari pandangan manusia, seperti shalat malam, shadaqah siriyyah (sembunyi-sembunyi), menangis karena takut kepada-Nya, dan sebagainya.
Mengenali riya’ dan penyebabnya, hingga bisa mewaspadai datangnya.
Senantiasa memperhatikan akibat riya’ baik di dunia dan akhirat.
Selalu berdoa pada Allah agar ditetapkan hatinya di atas ketaatan kepada-Nya.
يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْ بَنَا عَلَي طَاعَتِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, balikkanlah hati kami di atas ketaatan-Mu.”
Nabi bersabda :
Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamilah (pakaian dari sutera atau wol yang indah-red). Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.(Riwayat Bukhari)
Sungguh celaka orang-orang yang memberi sumbangan dengan niat agar organisasi, perusahaan, atau tempat mereka bekerja mendapat keuntungan dari sumbangannya tersebut. Celakalah hamba perusahaan !
Ada lagi yang membuka posko-posko kesehatan dan bantuan demi partainya. Mereka memberi bantuan agar para korban menjadi simpati dengan partainya. Sehingga dalam pilihan nanti, akan mendapat tambahan suara. Sungguh sangat disesalkan dan memalukan, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Benar-benar celaka hamba partai!
Sumber: Majalah As-Sunnah, No. 08/IV/1421-2000

Selasa, 08 Februari 2011

JANGAN SAMPAI FACEBOOK MENGHAPUS AMALAN IBADAH KITA



Tidak sedikit di antara kita yang menuliskan pada statusnya di FB: " Tahajjud sudah, dzikir sudah, baca al-Qur’an sudah. Sekarang apalagi ya?" Atau, ada lagi yang menuliskan bahwa dia sudah makan ini dan minum itu untuk sahur, puasa sunnah.atau update status di tengah malam, bilang tahajjud , atau cara lain dengan cara membangunkan sahur(sahur-sahur ayo sahur) dan untuk sholat subuh, agar diketahui orang lain bahwa dia sedang mengerjakan amal shalih. 
Astagfirullah.......
semoga tidak ada dipikiran kita niat seperti ini.
Mari kita tutup rapat-rapat peluang masuknya setan, kita sudah yakin kan bahwa Allah melihat semua aktifitas kita.
JADI CUKUP ALLAH SAJA YANG TAHU !!!
Wahai para hamba Allah yang sedang meniti jalan menuju Rabbnya, janganlah luasnya rahmat dan ampunan Allah menjadikan kita merasa aman dari siksa dan adzab-Nya. Janganlah kita merasa bahwa segala amalan yang kita kerjakan pasti diterima oleh-Nya, siapakah yang bisa menjamin itu semua ?
Tidak diragukan lagi bahwa riya’  membatalkan dan menghapuskan amalan seorang hamba. Dalam sebuah hadits qudsi,
(Allah berfirman):"Aku paling kaya, tidak butuh tandingan dan sekutu. Barangsiapa beramal menyekutukan-Ku kepada yang lain, maka Aku tinggalkan amalannya dan tandingannya." (HR. Muslim no. 2985)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan kepada kalian adalah syirik kecil." Para sahabat bertanya: "Apa yang dimaksud dengan syirik kecil?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Yaitu riya’." (HR. Ahmad 5/428, Baihaqi no. 6831, Baghawi dalam Syarhus Sunnah 4/201, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 951, Shahih Targhib 1/120).

Wallahualam...
by 
Reno Setiawansyah
Sumber : http://arsitek-peradaban.abatasa.com/

Minggu, 06 Februari 2011

PANDANGAN AGAMA ISLAM TENTANG MAKNA KEMATIAN

Kabar meninggalnya AJI MASAID mengagetkan kita semua, ketahuilah bahwa sesungguhnya kejadian seperti itu bukanlah sesuatu yang aneh, mengejutkan atau luar biasa. Untuk menyimak lebih jauh, berikut pandangan Islam tentang kematian :
Agama, khususnya agama-agama samawi, mengajarkan bahwa ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam evolusi manusia, di mana selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.
Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalam memantapkan akidah serta menumbuhkembangkan semangat pengabdian.
Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang kematian. Rasul Muhammad saw, misalnya bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian).”
Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban percaya kepada Tuhan, adalah kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian.
Dari Al-Quran ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskannya bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada kehidupan tumbuhan, binatang, manusia, jin, dan malaikat, sampai ke tingkat tertinggi yaitu kehidupan Yang Mahahidup dan Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya bahwa ada kehidupan di dunia dan ada pula kehidupan di akhirat. Yang pertama dinamai Al-Quran al-hayat ad-dunya (kehidupan yang rendah), sedangkan yang kedua dinamainva al-hayawan (kehidupan yang sempurna).
“Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang sempurna” (QS Al-’Ankabut [29]: 64)
 Dijelaskan pula bahwa,
“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa’ 14]: 77)
Betapa kehidupan ukhrawi itu tidak sempurna, sedang di sanalah diperoleh keadilan sejati yang menjadi dambaan setiap manusia, dan di sanalah diperoleh kenikmatan hidup yang tiada taranya.
Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dan kesempurnaan itu, adalah kematian, karena menurut Raghib Al-Isfahani:
“Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain, sebagaimana diriwayatkan bahwa, “Sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian harus berpindah dan satu negeri ke negeri (yang lain) sehingga kalian menetap di satu tempat.” (Abdul Karim AL-Khatib, I:217)
Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).
Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak (menahan).
Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya,
Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu.”
Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai salah satu isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih mulia dan baik dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah kematian adalah wafat yang berarti kesempurnaan serta imsak yang berarti menahan (di sisi-Nya)?
Memang, Al-Quran juga menyifati kematian sebagai musibah malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya istilah ini lebih banyak ditujukan kepada manusia yang durhaka, atau terhadap mereka yang ditinggal mati. Dalam arti bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi mereka yang mati tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup di negeri seberang.
Kematian juga dikemukakan oleh Al-Quran dalam konteks menguraikan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia. Nikmat yang diakibatkan oleh kematian, bukan saja dalam kehidupan ukhrawi nanti, tetapi juga dalam kehidupan duniawi, karena tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian.
Muhammad Iqbal menegaskan bahwa mustahil sama sekali bagi makhluk manusia yang mengalami perkembangan jutaan tahun, untuk dilemparkan begitu saja bagai barang yang tidak berharga. Tetapi itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian jiwa itu dengan jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,
“Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun” (QS Al-Mulk [67]: 1-2)
Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.
m.pdfhttp://xa.yimg.com/kq/groups/21285856/46129217/name/Kematian+Dalam+Perspektif+Islam.pdf

Selasa, 01 Februari 2011

Sifat Sifat Ibadurrahman “Rendah Hati”


Oleh : H. Mas’oed Abidin
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ;
Dan hamba-hamba Rabb yang Maha Penyayang (Ibadurrahman) itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (mengandung) keselamatan.
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.
Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya ia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.
Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami …Anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami, penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa. Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam sorga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan-ucapan selamat di dalamnya.
Firman Allah ini ditemui di dalam Alquranul Karim, Q.S. Al Furqan, ayat  63-75.
Ibadurrahman adalah hamba-hamba yang dinisbatkan kepada Allah semata (Ar Rahman) yang mengandung pengertian, bahwa mereka adalah hamba-hamba yang layak mendapatkan rahmat Allah dan mereka selalu berada dalam lingkup rahmat-Nya.
Mereka adalah orang-orang yang menyadari kekuasaan Allah dan memenuhi hak-hak-Nya, yang memurnikan agama karena Allah dan Allah memurnikan agama-Nya bagi mereka.
Dinisbatkannya mereka kepada Allah Yang Maha Rahman – sebagaimana yang dinyatakan langsung oleh Allah – oleh karena disana juga ada golongan-golongan hamba yang lain, seperti hamba syeitan, hamba taghut, hamba syahwat, hamba uang, hamba khamar, hamba narkoba, hamba birahi, hamba harta, hamba tahta, hamba wanita. Ibadurrahman mempunyai sifat dan tanda-tanda sebagaiman yang disebutkan Allah di dalam ayat-ayat di atas.
Sifat-sifat tersebut adalah:
1. Tawadhu’ dan rendah hati
2. Murah hati
3. Mendirikan shalat malam (Qiyamullail)
4. Takut neraka
5. Sederhana dalam membelanjakan harta
6. Tauhid
7. Menjauhi tindak pembunuhan dan menghormati kehidupan
8. Menjauhi zina
9. Taubat Nasuha
10. Tidak bersumpah palsu dan meninggalkan pekerjaan yang tidak bermanfaat
11. Menyelami ayat-ayat Allah
12. Memohon kebaikan bagi istri dan keluarganya.
Sifat Ibadurrahman yang pertama adalah  Tawadhu’, sebagaimana diungkap  oleh Al Qur’an bahwa mereka berjalan di muka bumi dalam keadaan rendah hati dan penuh tawadhu’.
Ibadurrahman bila berjalan di muka bumi dalam keadaan rendah hati, tawadhu’ dan lemah lembut, berjalan dengan penuh kewibawaan dan kehormatan, tidak dengan sikap sombong dan semaunya sendiri, tidak merasa lebih tinggi dari siapapun, tidak menyeramkan dan tidak congkak.
Syaikh Yusuf Al Qardhawy mengatakan maksud berjalan dengan rendah hati bukan berarti berjalan dengan cara membungku-bungkuk seperti orang sakit, sebab Rasulullah SAW tidak berbuat seperti itu, begitu pula para sahabat.
Sebagaimana yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib r.a, dari Nabi SAW, bahwa saat berjalan badan beliau bergerak-gerak seperti sedang meniti jalan menurun. Ini merupakan jalannya orang-orang yang penuh semangatdan pemberani, seperti yang dikatakan Ibnu Qayyim di dalam Zadul Ma’ad .
Abu Hurairah juga pernah berkata, “Aku tidak melihat sesuatu pun yang lebih bagus dari pada Rasulullah SAW. Seolah-oleh matahari berjalan di muka beliau. Aku juga tidak melihat seseorang yang lebih jalannya daripada beliau, seakan-akan bumi menjadi turun di hadapan beliau. Kami sudah berusaha menyeimbangi beliau, tapi beliau seperti tidak peduli.”
Rasulullah tidak berjalan seperti orang sakit atau lamban.
Maksud dari kata-kata cepat di sini bukan berarti cara berjalan yang menghilangkan kewibawaan, yang berjalan terlalu cepat.
Artinya sedang-sedang saja, tidak terlalu cepat tidak terlalu lambat, sesuai dengan perawakan, umur dan kemampuan.
Rasulullah SAW juga para sahabat beliau telah menyontohkan kepada kita sikap tawadhu’ yang pada dasrnya adalah salah satu landasan sikap dan akhlak mereka.
Marilah kita simak kata-kata hikmah berikut ini yang terdapat dalam kitab Muzakarah fi manazili as Shiddiqin wa ar Rabbaniyyin; min khilali an Nushus wa Hikam Ibnu ‘Athaillah Sakandary, karya Syaikh Sa’id Hawwa:
“Barangsiapa yang beranggapan bahwa dirinya tawadhu’ pada hakikatnya dia orang-orang yang sombong, sebab anggapan tawadhu’ seperti ini tidak timbul kecuali lantaran rasa tinggi diri/tinggi hati.
Karena itu, jika engkau beranggapan bahwa dirimu telah tawadhu’ sebenarnya engkau adalah orang yang takabur (sombong).”
Allahu A’lam Bi As Shawab
 

Copyright 2008 All Rights Reserved | RENUNGAN ISLAMI Designed by Bloggers Template | CSS done by Link Building