Senin, 31 Januari 2011

Dampak Buruk Riya' dan Sum'ah Terhadap Pribadi dan Jama'ah


Jika penyakit riya' dan sum'ah telah menggerogoti muslim, apalagi aktifis dakwah, maka dampak buruknya tidak hanya menimpa pribadi muslim dan aktifis dakwah itu, tetapi juga menimpa jama'ah. Berikut adalah beberapa dampak buruk riya' dan sum'ah itu:
1. Terhalang dari Hidayah dan Taufiq Allah
Hidayah Allah SWT adalah anugerah Allah yang dikaruniakan-Nya kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Ini hak prerogatif Allah. Ia tidak bisa dipaksa untuk menghampiri kita atau orang-orang tertentu. Kita bisa berdoa agar mendapat hidayah, namun terserah Allah apakah menurunkan hidayah-Nya atau tidak.
Namun demikian, Allah telah membuat ketetapan di dalam Al-Qur'an bahwa hidayah itu akan diberikan kepada orang-orang yang ikhlas.
... dan Ia memberi petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kembali (kepada-Nya) (QS. As-Syura : 13)
...dan Ia menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya (QS. Ar-Ra'd : 27)
Seseorang yang riya dan sum'ah pada dasarnya telah merobek keikhlasan dan menyimpang dari kebenaran. Karenanya prasyarat untuk mendapatkan hidayah dan taufiq dari Allah telah hilang darinya. Meskipun tahu banyak ilmu, orang seperti ini akan sulit mengamalkannya. Ini dampak buruk riya' dan sum'ah:
...Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. As-Shaf : 5)
2. Batal Amalnya
Sesungguhnya salah satu dari syarat diterimanya amal adalah ikhlas. Seperti firman-Nya dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5.
Jika seseorang melakukan ibadah atau amal shalih namun dilandasi dengan riya' atau sum'ah maka amal itu akan menjadi sia-sia. Tidak diterima Allah SWT.
Lalu Kami hadapkan amal yang mereka kerjakan, kemudian Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (QS. Al-Furqan : 23)
Dalam hadits qudsi Allah berfirman:
Aku adalah yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang beramal untuk-Ku dengan menyekutukan selain-Ku, maka Aku bebas dari dia dan dia Aku serahkan kepada sekutunya itu. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
3. Mendapat Azab di Akhirat
Amal-amal yang banyak, yang disangka membuat masuk surga, justru menyeret manusia ke neraka ketika amal-amal itu dibangun di atas riya' dan sum'ah. Seperti hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa di pengadilan akhirat nanti ada 3 orang yang diadili pertama kali; orang yang mati syahid, orang alim yang mengajarkan ilmunya, dan orang kaya yang dermawan. Ketiganya menyangka akan masuk surga. Ini tercermin dari jawabannya saat ditanya tentang apa yang dilakukan dengan nikmat-nikmat itu. Tapi rupanya, Allah menilai berbeda dari persangkaan ketiga orang itu sebab mereka melakukannya karena riya' dan sum'ah. Lalu Allah memerintahkan malaikat untuk menyeret mereka ke neraka.
4. Aibnya akan terbuka baik di dunia maupun di akhirat
Orang yang riya' dan sum'ah ingin mendapatkan pujian, penghormatan, atau kedudukan dari orang lain. Namun seringkali Allah justru membuka aib orang seperti itu di dunia sehingga terbongkarlah kebusukannya.
Adapun di akhirat nanti, tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan saat yaumul hisab, saat pengadilan Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Barangsiapa yang berlaku sum'ah, maka ia akan dibalas Allah dengan sum'ah (dibuka aibnya) pula.
5. Menderita Kesempitan dan Kegelisahan
Orang yang riya' atau sum'ah akan dilanda kegelisahan dalam hidupnya. Ia berada dalam dua kesempitan. Merasa sempit karena khawatir niatnya terbongkar, dan merasa sempit saat niatnya tidak tercapai. Berbeda dengan orang ikhlas yang sejak awal melakukan amal telah mendapatkan ketenangan karena Allah-lah yang melihat dan akan membalas amalnya meskipun tidak ada orang lain yang tahu.
6. Tercabutnya kewibawaan dan pengaruh
Kewibawaan seorang muslim bisa hadir karena Allah yang menanamkan pada dirinya. Maka saat seorang hamba ikhlas dalam menjalankan agama-Nya, ibadah, dan dakwah, Allah memberikan kewibawaan itu. Namun jika Allah menghinakan seseorang, maka dengan cara bagaimanapun kewibawaan itu dipoles, ia tetap saja luntur dan tak berbekas.
Barangsiapa yang dihinakan Allah, niscaya tiada seorangpun yang akan memuliakannya. (QS. Al-Hajj : 18)
Pernah suatu ketika Ibnu Hubairah, gubernur Kufah dan Bashrah memanggil Hasan Al-Basri dan Amir bin Syarahbil untuk meminta nasihat berkenaan dengan intruksi Yazid yang zalim. Amir bin Syarahbil saat itu menjawab dengan jawaban yang moderat dan cenderung memaafkan Ibnu Hubairah seandainya ia melakukan intruksi itu karena pada dasarnya ia terpaksa. Namun saat Hasan Al-Basri dimintai nasihat, ia menjawab dengan tegas: "Wahai Ibnu Hubairah, takutlah kepada Allah dalam menghadapi Yazid, dan jangan takut kepada Yazid saat menghadapi Allah. Allah dapat melindungimu dari Yazid, tetapi Yazid tidak dapat melindungimu dari Allah..." Mendengar nasihat seperti itu Ibnu Hubairah menangis tersedu-sedu dan memakai pendapat Hasan Al-Basri serta menghormatinya. Ia tidak mengambil pendapat Amir bin Syarahbil.
Ketika keluar dan berhadapan dengan banyak orang, Amir bin Syarahbil mengakui kesalahannya karena ingin dekat dan mendapat persetujuan Ibnu Hubairah. Ia juga menyatakan kemuliaan Hasan Al-Basri. Amir bin Syarahbil insaf.
7. Tidak tekun dalam beramal
Karena berorientasi pandangan manusia dan materi, orang yang riya' dan sum'ah tidak akan bisa istiqamah dalam beramal. Saat manusia tidak lagi memperhatikannya, saat media tidak lagi meliputnya, saat keuntungan-keuntungan materi tidak didapatkannya, ia pun berhenti dari amal itu.
Jika aktifis dakwah terhinggapi riya' dan sum'ah maka dampak-dampak buruk itu selain menimpa pribadinya juga berefek pada jama'ahnya. Diantaranya adalah dengan semakin panjangnya jalan perjuangan, semakin lambatnya kemenangan, dan semakin beratnya beban. Wallaahu a'lam bishshawab
.
Sumber  : muchlisin.bogspot.com

Minggu, 30 Januari 2011

Motivasi Kerja Dalam Islam

Untuk mengetahui motivasi kerja dalam Islam, kita perlu memahami terlebih dahulu fungsi dan kedudukan bekerja. Mencari nafkah dalam Islam adalah sebuah kewajiban. Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan kebutuhan manusia, diantaranya kebutuhan fisik. Dan, salah satu cara memenuhi kebutuhan fisik itu ialah dengan bekerja.
Motivasi kerja dalam Islam itu adalah untuk mencari nafkah yang merupakan bagian dari ibadah. Motivasi kerja dalam Islam bukanlah untuk mengejar hidup hedonis, bukan juga untuk status, apa lagi untuk mengejar kekayaan dengan segala cara. Tapi untuk beribadah. Bekerja untuk mencari nafkah adalah hal yang istimewa dalam pandangan Islam.

Motivasi Kerja Dalam Islam

Cobalah simak beberapa kutipan hadist dibawah ini. Anda bisa melihat bagaimana istimewanya bekerja mencari nafkah menurut sabda Nabi saw.
Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad)
Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah. (HR. Ahmad)

Hukumnya Wajib

Mencari rezeki yang halal dalam agama Islam hukumnya wajib. Ini menandakan bagaimana penting mencari rezeki yang halal. Dengan demikian, motivasi kerja dalam Islam, bukan hanya memenuhi nafkah semata tetapi sebagai kewajiban beribadah kepada Allah setelah ibadah fardlu lainnya.
Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Perlu diperhatikan dalam hadist di atas, ada kata sesudah. Artinya hukumnya wajib sesudah ibadah lain yang fardhu. Jangan sampai karena merasa sudah bekerja, tidak perlu ibadah-ibadah lainnya. Meski kita bekerja, kita tetap wajib melakukan ibadah fardhu seperti shalat, puasa, ibadah haji, zakat, jihad, dan dakwah. Jangan sampai kita terlena dengan bekerja tetapi lupa dengan kewajiban lainnya.
Jadi, tidak ada kata malas atau tidak serius bagi seorang Muslim dalam bekerja. Motivasi kerja dalam Islam bukan semata mencari uang semata, tetapi serupa dengan seorang mujahid, diampuni dosanya oleh Allah SWT, dan tentu saja ini adalah sebuah kewajiban seorang hamba kepada Allah SWT.

Sumber : www.motivasi-islami.com

Jumat, 28 Januari 2011

Sikap Profesional


Seseorang dikatakan profesional jika ia memiliki keahlian dan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan pekerjaannya. Makin baik dan sempurna hasil pekerjaan yang dilakukannya, kita akan sepakat mengatakan itulah profesional sejati. Di samping itu, ciri dari seorang profesional adalah adanya etos kerja yang tinggi dan selalu bersemangat dalam bekerja. Etos kerja inilah yang membuat seseorang mampu bekerja dengan baik dan optimal.
Sebelum Rasulullah wafat, Beliau telah mengangkat Usamah bin Zaid yang ketika itu berusia 17 tahun untuk memimpin pasukan Muslim menghadapi kaum kafir. Padahal di belakang Usamah berdiri sahabat-sahabat utama Rasulullah yang sudah matang melintang menemaninya berjuang menegakkan agama Islam. Tapi amanat panglima perang Rasulullah berikan kepada seorang pemuda pemberani, Usamah.
Ketika Rasulullah wafat dan Abu Bakar didaulat menjadi khalifah. Dalam suasana seperti itu Umar r.a mengajukan usul (dalam terjemahan bebas) “Ya Khalifatul Rasulullah, Usamah ini masih terlalu muda untuk memimpin pasukan perang, dia belum banyak berpengalaman membawahi pasukan sebanyak ini. Bagaimana kalau kita ganti saja Usamah?” ujar Umar r.a. “Kuburan Rasullullah masih basah, apakah engkau sudah berani mencabut ketetapannya?” jawab Abu Bakar berang. Umar pun segera beristighfar, memohon ampunan kepada Allah swt.
Ketika pasukan mau berangkat menuju medan perang, Abu Bakar maju ke depan barisan menghampiri Usamah yang sudah siap berangkat. “Wahai Usamah, bolehkah aku meminta fulan, fulan tidak ikut berperang bersama engkau. Saya membutuhkannya untuk membantu mengurusi umat di sini,” pinta Abu Bakar. “Jangan meminta Khalifatul Rasulullah, Engkau punya hak untuk memerintahkan orang-orang tersebut untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab Usamah penuh hormat.
Penggalan sirah nabawiah di atas sengaja disajikan untuk melihat hikmah yang terkandung di dalamnya yang menunjukkan bahwa betapa sahabat Rasul yang utama memiliki jiwa profesionalitas yang tinggi, mengesampingkan senioritas yang sudah terbentuk sebelumnya. Profesional didefinisikan sebagai kemampuan menangani amanah, pekerjaan yang dibebankan kepada sesesorang dengan berlatar belakang ilmu dan kapasitas yang dimilikinya. Tanpa melihat usia atau lama dia bekerja pada sebuah perusahaan.
Kenapa sikap profesionalitas ini penting? Karena dunia akan terus berkembang dengan tantangan-tantangan yang lebih kompleks. Tanpa dibarengi dengan peningkatan manusianya kita akan ketinggalan dari orang lain. Siapa yang mengesampingkan profesionalitas akan tersisih dari berbagai persaingan kerja di masa depan.
Dalam khasanah Islam, profesional adalah satu sikap yang bisa dikaitkan dengan padanan kata ihsan. Setiap manusia, seperti diungkapkan Al-Qur'an, diperintahkan untuk berbuat ihsan agar dicintai Allah. Kata ihsan sendiri merupakan salah satu pilar di samping kata Iman dan Islam. Dalam pengertian yang sederhana, ihsan berarti kita beribadah kepada Allah seolah-olah Ia melihat kita. Jika kita tidak bisa melihat-Nya, yakinlah pada kenyataannya Allah menyaksikan setiap perbuatan dan desir kalbu kita. Ihsan adalah perbuatan baik dalam pengertian sebaik mungkin atau secara optimal. Ihsan berarti optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan sesempurna mungkin. Allah sendiri mewajibkan ihsan atas segala sesuatu seperti tercermin dalam Al-Qur'an. Yang membuat baik, sebaik-baiknya segala sesuatu yang diciptakan-Nya. (Q.S. 32: 7 )
Dari riwayat di atas dan uraian Al-Qur'an jelaslah bahwa setiap muslim harus menjadi seorang pekerja yang profesional. Jika hal itu mampu diwujudkan, berarti ia melaksanakan salah satu perintah Allah untuk berbuat ihsan dan juga mensyukuri karunia Allah berupa kekuatan akal dan fisiknya yang diberikan sebagai bekal dalam bekerja. Mengabaikan potensi akal dan fisik tersebut atau “tidak menajamkannya” bisa diartikan tidak mensyukuri nikmat dan karunia Illahi Rabbi. 
Seruan akan etos kerja dalam Islam sebenarnya sudah banyak diungkapkan berbagai ayat Al-Qur’an atau diuraikan hadits. Kini saatnya menyadari makna al-ihsan itu sehingga dari kesadaran yang berdasarkan pengetahuan itu akan lahir sebuah budaya yang melihat pekerjaan sebagai manifestasi pengabdian kepada Allah swt. 
“Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri”. (H.R. Baihaqi)
Seseorang dikatakan profesional jika ia memiliki keahlian dan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan pekerjaannya. Makin baik dan sempurna hasil pekerjaan yang dilakukannya, kita akan sepakat mengatakan itulah profesional sejati. Di samping itu, ciri dari seorang profesional adalah adanya etos kerja yang tinggi dan selalu bersemangat dalam bekerja. Etos kerja inilah yang membuat seseorang mampu bekerja dengan baik dan optimal.
Dalam Islam, etos kerja (himmatul 'amal) merupakan bagian yang amat penting dan mendasar. Di mana Islam mendorong setiap manusia untuk selalu bekerja keras serta bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga dan kemampuannya dalam bekerja. Coba perhatikan hadits berikut ini.
“Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hamba-Nya bersusah payah (kelelahan) dalam mencari rezeki yang halal.” (HR. Ad-Dailami)
Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap kesungguhan bekerja, hingga Islam (Allah swt.) menempatkannya dalam kategori ibadah. Artinya, aktivitas kerja dalam pandangan Allah (Islam) merupakan bagian dari ibadah yang akan mendapatkan bukan saja keuntungan material, tetapi juga pahala dari sisi Allah swt. Bahkan dalam beberapa hadits dikatakan, bahwa bekerja dengan sungguh-sungguh dapat menghapuskan dosa yang tidak bisa dihapus oleh aktivitas ibadah ritual sekalipun.
“Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya keterampilan kedua tangannya pada siang harinya, maka pada malam itu ia diampuni.” (H.R. Ahmad)
“Sesungguhnya, di antara perbuatan dosa ada dosa yang tidak bisa terhapus (ditebus) oleh pahala shalat, sedekah (zakat), ataupun haji, namun hanya dapat ditebus dengan kesusahan dalam mencari nafkah penghidupan.” (H.R. Tabrani)
Tentu sebagai muslim kita tidak akan berpikir ini hanyalah basa-basi Allah kepada hamba-Nya agar semangat bekerja. Tetapi inilah kemurahan dan bentuk penghargaan serta perhatian-Nya atas kesungguhan manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. (As) 

Rabu, 26 Januari 2011

Biarlah Allah yang Memilih…



Saudaraku…
Jika engkau tertimpa cobaan yang sangat sulit bagimu melepaskan diri darinya, maka tidak ada jalan keluar untukmu kecuali ‘DOA’ dan kembali kepada Allah setelah engkau mendahuluinya dengan taubat atas dosa-dosamu. Karena ketergelinciran (ke dalam dosa) mengakibatkan siksa, jika ketergelinciran tersebut telah hilang dengan taubat atas dosa-dosa maka hilang pula sebab turunnya siksa dan cobaan itu. Jika engkau sudah berdoa’ dan belum ada tanda-tanda doa’mu dikabulkan maka renungilah dirimu!
Mungkin taubatmu tidak benar, maka benahi dan benarkanlah taubatmu terlebih dahulu kemudian berdoa’lah lagi, dan (ingat) jangan sekali-kali bosan berdoa’. Boleh jadi, kemaslahatan terdapat dalam pengunduran pengabulan doa’mu, atau bahkan kemaslahatan terdapat di dalam ketidak pengabulan doa’mu, maka engkau tetap mendapatkan pahala dari doa’mu tersebut dan engkau diberi apa yang bermanfaat untukmu. Dan diantara manfaat tersebut adalah engkau tidak diberi apa yang engkau minta tetapi digantikan dengan yang lain.
Jika Iblis mendatangimu lalu mengatakan kepadamu; sudah berapa sering engaku berdoa’ tetapi engkau belum melihat hasil pengabulan doa’mu? Maka katakanlah “Aku bertaa’bbud (beribadah) dengan berdoa’, dan aku yakin bahwa doa’ku pasti dikabulkan”, hanya saja boleh jadi penta’khirannya mengandung beberapa maslahat, sehingga pengabulan doa’ itu akan datang pada saat yang tepat. Andaipun tidak dikabulkan, maka aku telah merealisasikan taa’bbud dan tadzallul. Maka janganlah engkau meminta sesuatu kepada-Nya melainkan engkau sertakan dengan permintaan pilihan (mohon kepada Allah dipilihkan yang terbaik). Berapa banyak permintaan berupa dunia jika dikabulkan justru mendatangkan kehancuran bagi pemintanya.
Jika engkau tahu, bahwa engkau diperintahkan untuk bermusyawarah dalam menghadapi dan menyelesaikan urusan-urusan duniamu, agar sahabatmu menjelaskan kepadamu beberapa pendapat dan masukannya yang mengalahkan pendapatmu, dan engkau memandang bahwa apa yang terjadi padamu tidak baik bagimu, lalu mengapa engkau tidak memohon kebaikan kepada Rabbmu? Padahal Dia Maha Mengetahui maslahat? Dan istikharah merupakan musyawarah terbaik (dengan Allah).
(Ibnul Jauziy, Shaidul Khaathir hal:256).
Sumber :  http ://wimakassar.org

Minggu, 16 Januari 2011

Berhati-hati Dengan Waktu Luang

“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling.” (Al-Hajj: 1)
Maha Kuasa Allah yang menciptakan arena bumi sebagai sarana ujian. Kekayaan alam yang begitu melimpah. Sungai-sungai jernih yang melahirkan kehidupan. Hujan yang membangkitkan harapan. Dari situlah, hamba-hamba Allah membuktikan diri: apakah ia sebagai hamba yang konsisten atau dusta.
Ada baiknya berhati-hati dengan yang boleh. Tak ada yang tanpa batas di dunia ini. Karena sunnatullah dalam alam, semua tercipta dalam takaran tertentu. Dari takaran itulah, keseimbangan bisa langgeng. Termasuk keseimbangan dalam diri manusia.
Kalau keseimbangan goyah, yang muncul adalah kerusakan. Dalam diri manusia, ada tiga keseimbangan yang mesti terjaga: keseimbangan akal, rohani, dan fisik. Satu keseimbangan terganggu, seluruh fisik mengalami kerusakan.
Ketidakseimbangan bukan cuma dari sudut kekurangan. Berlebih-lebihan pun bisa memunculkan ketidakseimbangan. Termasuk dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan psikis. Di antara urusan fisik adalah makan dan minum.
Allah swt. berfirman, “….makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)
Berlebih-lebihan dalam makan dan minum, walaupun halal, bisa memunculkan penyakit. Lebih dari lima puluh persen sumber penyakit berasal dari lambung. Karena itulah, Rasulullah saw. meminta kaum muslimin untuk mengerem makan. Dan cara yang paling bagus adalah dengan puasa. Beliau saw. mengatakan, “Berpuasalah, niscaya kamu akan sehat.” (Al-hadits)
Masih banyak hal boleh lain yang mesti pas dengan takaran. Di antaranya, hubungan seksual suami istri, tidur, dan juga bersantai.
Sayangnya, ada kecenderungan manusia senang bersantai. Sudah menjadi sifat dasar manusia memilih jalan yang gampang daripada yang sukar. Lebih memilih santai ketimbang banyak kerja. “Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (Al-Balad: 11)
Santai pada timbangan yang proporsional memang bagus. Karena itu bermakna istirahat. Dari istirahatlah keseimbangan baru bisa lahir. Dengan istirahat, lelah bisa tergantikan dengan kesegaran baru.
Tapi, ketika santai tidak lagi proporsional, yang muncul hura-hura dan kemalasan. Orang menjadi begitu hedonis. Orientasi bergeser dari keimanan kepada serba kesenangan. Saat itu, santai tidak cuma menggusur jenuh, tapi juga kewajiban-kewajiban. Bisa kewajiban sebagai suami, anak, dan juga sebagai hamba Allah swt.
Di antara ciri orang beriman adalah berhati-hati dengan perbuatan yang sia-sia. Allah swt. berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-Mu’minun: 1-3)
Rasulullah saw. mewanti-wanti para sahabat agar berhati-hati dengan waktu senggang. Beliau saw. bersabda, “Ada dua kenikmatan yang membuat banyak orang terpedaya yakni nikmat sehat dan waktu senggang.” (HR. Bukhari)
Ada banyak cara menggusur letih dan jenuh. Letih dan jenuh kadang tidak cuma bisa disegarkan dengan santai. Ada banyak cara agar penyegaran bisa lebih bermakna dan sekaligus terjaga dari lalai.
Para sahabat Rasul biasa mengisi waktu kosong dengan tilawah, zikir, dan shalat sunnah. Itulah yang biasa mereka lakukan ketika suntuk saat jaga malam. Bergantian, mereka menunaikan shalat malam.
Bentuk lainnya adalah bermain dengan istri dan anak-anak. Rasulullah saw. pernah lomba lari dengan Aisyah r.a. Kerap juga bermain ‘kuda-kudaan’ bersama dua cucu beliau, Hasan dan Husein. Dari sini, santai bukan sekadar menghilangkan jenuh. Tapi juga membangun keharmonisan keluarga.
Rasulullah saw. mengatakan, “Orang yang cerdik ialah yang dapat menaklukkan nafsunya dan beramal untuk bekal sesudah wafat. Orang yang lemah ialah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan muluk terhadap Allah.” (HR. Abu Daud)
Dan harus kita sadari betul, ada pihak lain yang mengintai kelengahan kita. Pertarungan antara hak dan batil tidak kenal istilah damai. Tetap dan terus berlangsung hingga hari kiamat. Dari situlah, saling mengintai dan saling mengalahkan menjadi hal lumrah. Dan kewaspadaan menjadi hal yang tidak boleh dianggap ringan.
Pihak yang jelas-jelas melakukan pengintaian adalah musuh abadi manusia. Dialah iblis dan para sekutunya. Allah swt. membocorkan itu dalam firman-Nya :
 “Iblis mengatakan, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)
Pihak lain adalah kelompok manusia yang tidak suka dengan perkembangan Islam. Mereka selalu mengintai kelemahan umat Islam, mengisi rumah-rumah umat Islam dengan hiburan yang melalaikan. Bahkan, mengkufurkan. Masih banyak upaya lain orang kafir untuk menghancurkan Islam.
Karena itu, berhati-hatilah dengan waktu luang. Kalau tidak bisa diisi dengan yang produktif, setidaknya, isilah dengan yang tidak melalaikan.

Sumber : www.dakwatuna,com



Rabu, 05 Januari 2011

Tanda Akhir Zaman: Pilih Kasih Dalam Menebar Salam

Oleh: akhdian



Saudaraku, di antara syarat masuk surga ialah wajibnya seseorang memiliki iman. Tanpa iman seseorang tidak bakal berhak masuk surga. Tidak ada orang kafir yang diizinkan Allah masuk surga. Oleh karena itu Allah menggambarkan di dalam Al-Qur’an penyesalan orang kafir di akhirat nanti. Mereka menyesal karena sewaktu di dunia tidak termasuk ke dalam golongan kaum Muslimin alias tidak termasuk orang yang beriman.
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ
”Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” (QS Al-Hijr ayat 2)
Di dalam sebuah hadits Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam menyebutkan secara jelas bahwa seseorang tidak bakal masuk surga jika tidak beriman. Uniknya hadits ini dilanjutkan dengan penjelasan berikutnya mengenai syarat seseorang dikatakan beriman itu apa. Ternyata di antara syarat orang dikatakan beriman ialah jika ia mengembangkan jiwa kasih-sayang terhadap sesama orang beriman lainnya. Dan berikutnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan bahwa untuk mengembangkan kasih-sayang di antara sesama mukmin ialah membiasakan diri untuk mengucapkan salam di antara mukmin satu sama lain.
Bersabda Rasulullah shollollahu ’alaihi wa sallam: “Kalian tidak bakal masuk surga sebelum kalian beriman. Dan kalian tidak dikatakan beriman sebelum kalian saling mengasihi satu sama lain. Maukah kalian aku tunjukkan suatu perkara yang bila kalian kerjakan bakal menyebabkan kasih sayang di antara kalian? Sebarkan ucapan salam di antara kalian.” (HR Muslim)
Jadi, kebiasaan mengucapkan salam (yaitu lengkapnya berupa ucapanAssalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wabarakaatuh) merupakan suatu anjuran langsung dari Nabi Muhammad. Ia bukanlah sekedar basa-basi atau produk budaya bangsa Arab. Bahkan dengan demikian ia bisa dikatakan termasuk salah satu bentuk kegiatan beribadah seorang mukmin kepada Allah. Oleh karenanya dalam kesempatan lain Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menegaskan agar dalam melakukannya janganlah seorang Muslim bersikap diskriminatif alias pilih-kasih. Ucapan salam merupakan hak sesama orang beriman siapapun dia, baik yang dikenal maupun tidak, baik itu tetangga dekat maupun jauh, baik itu sesuku-bangsa maupun tidak, baik itu tua ataupun muda, baik itu saudara dekat maupun jauh atau baik itu satu organisasi maupun tidak. 
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., "Islam manakah yang lebih baik?" Beliau bersabda, "Kamu memberikan makanan dan mengucapkan salam atas orang yang kamu kenal dan tidak kamu kenal." (HR Bukhary)
Dengan penegasan di atas berarti ucapan salam sesama mukmin bersifat universal. Dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun asalkan itu sesama mukmin, maka kita sepatutnya menebar ucapan salam.
Maka, saudaraku, marilah kita patuhi anjuran Nabi yang satu ini secara murni dan konsekuen. Marilah kita biasakan diri dan keluarga untuk senantiasa menebar salam kepada sesama saudara mukmin tanpa pilih-kasih. Sebab hal itu menjadi indikasi kedalaman jiwa kasih-sayang yang kita miliki terhadap sesama orang beriman. Dan kedalaman jiwa kasih-sayang tersebut mengindikasikan kedalaman iman kita. Dan kedalaman iman kita pada gilirannya akan menjadi penyebab kita berhak masuk surga Allah ta’aala. Siapa yang tidak ingin masuk surga? Tentu kita semua sangat berambisi masuk surga.
Namun di zaman penuh fitnah dewasa ini tidak jarang jiwa kasih-sayang kita mengalami erosi. Hubungan antar sesama menjadi sangat formal dan kaku, bahkan seringkali dingin dan tanpa melibatkan perasaan cinta. Kemudian tanpa kita sadari iman-pun menipis. Dan iman yang menipis itu tercermin-lah kualitas dan kebiasaan kita menebar salam. Sehingga ada sebagian kita yang menebar salam dengan syarat. Bila seseorang yang dia jumpai itu satu kelompok, organisasi, jama’ah, pergerakan, partai dengan dirinya, barulah dengan semangat dia sebar salam. Namun jika tidak, maka dengan berat hati dia menebar ucapan salam, bahkan terkadang salam-pun tidak diucapkan sama sekali. Na’udzubillaahi min dzaalika.
Oleh karena itu Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam memperingatkan kita bila keadaan seperti ini muncul berarti kita seperti mempercepat datangnya kiamat. Bilamana sesama orang beriman sudah mulai berlaku diskriminatif dalam menebar salam, berarti itu termasuk di antara tanda-tanda dekatnya hari Kiamat.
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat ialah bilamana ucapan salam hanya disampaikan kepada orang yang dikenal.” (HR Abdurrazzaq)
Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang saling mencinta hanya karena Engkau. Jadikanlah kami orang-orang yang tidak bakhil dalam menebar ucapan salam kepada sesama saudara seiman kami sebagaimana disunnahkan oleh RasulMu, Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Amin ya Rabb.- [via]
Sumber : akhdiant.net

Senin, 03 Januari 2011

Kebenaran Bukan Diukur dari Kebanyakan



Katakanlah: ‘tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah [5]: 100)
Abdullah bin Mas’ud pernah berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian hidup di suatu zaman, di mana kebenaranlah yang mengendalikan hawa nafsu. Namun, kelak akan ada suatu zaman, di mana hawa nafsulah yang akan menguasai kebenaran.”

Wallahu a’lam, apakah yang beliau maksudkan adalah zaman seperti yang kita alami hari ini, atau masih ada zaman yang lebih parah lagi. Saat di mana hukum dan ajaran Islam menjadi asing bagi para penganutnya. Orang yang berpegang teguh terhadap kebenaran justru dianggap nyleneh dan ekstrim. Sebaliknya, para pecundang dianggap sebagai pahlawan, para pengumbar nafsu dijadikan panutan.

Kebenaran menurut mereka bukan lagi diukur dari apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) gariskan, tapi menurut kecenderungan orang kebanyakan. Keburukan adalah segala yang dianggap buruk oleh umumnya orang. Yang halal adalah yang dianggap halal oleh manusia. Yang haram adalah yang dianggap haram menurut mereka. Begitupun dalam mengukur yang ma’ruf dan yang munkar. Dan memang, umumnya manusia cenderung mengikuti arus besar yang melingkupi hidupnya. Ke mana arus itu mengalir, kesitu pula ia akan hanyut.

Banyak Tapi Sesat


Lewat ayat di atas, Allah SWT mengingatkan orang yang berakal, agar tidak mengukur baik buruknya sesuatu berdasarkan kecenderungan banyak orang.
Keburukan tidaklah berubah menjadi kebaikan dengan alasan banyak penggemar. Sesuatu yang haram juga tidak lantas boleh dianggap halal lantaran sudah banyak yang melakukan. Pun sebaliknya, baik dan benar tidaklah berubah statusnya menjadi buruk dikarenakan sedikitnya orang yang menjalankan.

Alangkah pentingnya ayat di atas dikumandangkan di zaman ini. Saat arus kebanyakan menjadi ukuran kebenaran. Bahkan, menjadikan suara kebanyakan sebagai parameter kebenaran itu telah menjadi ideologi dunia. Ideologi ini direpresentasikan oleh paham demokrasi yang meletakkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam segala aspek. Rakyat (terbanyak) berhak menentukan halal dan haramnya suatu perkara semau mereka. Ia adalah suatu paham yang mengukur kebenaran semata-mata dari banyaknya suara. Semboyannya adalah vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tsuhan. Benarkah suara terbanyak adalah representasi dari suara Allah SWT?

Bahkan, jika yang dimaksud dengan kalimat “kebanyakan” adalah mayoritas manusia, maka tidak kita dapatkan dalam al-Qur`an melainkan menunjukkan kualitas yang buruk. Seperti firman Allah “dan kebanyakan mereka tidak berakal” atau firman-Nya “akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.

Kalimat “kebanyakan” dalam al-Qur`an juga identik dengan cupetnya nalar, latah, gampang terpengaruh, ceroboh, tidak berpikir secara jernih, mudah lalai dan lengah, ikut arus, mudah terprovokasi dan mudah digiring opininya. Orang “kebanyakan” adalah golongan yang tidak peka, tidak pandai mengambil pelajaran dan tidak bersyukur kepada Allah SWT.
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Al-Baqarah [2]: 243)

Lebih dari itu, Allah SWT mengingatkan bahwa membeo kepada orang “kebanyakan”, berpotensi untuk terjerumus ke jurang kesesatan dan kesalahan,
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” ( Al-An’am [6]: 116)


Yang Benar, Biasanya Sedikit

Jika Allah SWT menghitung watak keburukan dengan kuantitas yang banyak, sebaliknya terhadap kaum yang dipuji, beriman, taat dan bersyukur, biasanya Allah SWT mensifatkannya dengan “qalil” (sedikit).
“…Dan tidak beriman kepada Nuh itu kecuali sedikit saja.” (Huud [11]: 40)
“…Tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” (Al-Kahfi [18]: 22)
“…Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan amat sedikitlah mereka ini.” (Shaad [38]: 24)
Kuantitas yang sedikit dari orang-orang yang lurus dan benar dapat kita lihat dari banyaknya ayat yang menyebutkan golongan tersebut dalam bentuk perkecualian. Seperti “…kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran”, juga “..kecuali orang yang shalat, yang rutin dalam shalatnya”, atau firman Allah “…kecuali orang-orang yang bertakwa” dan sebagainya.
Jadi, kita maklumi bahwa sesuatu yang dikecualikan lebih sedikit dari jumlah keseluruhannya.


Parameter Kebenaran

Begitulah, suara kebanyakan bukanlah patokan suatu kebenaran. Pendapat mayoritas rakyat bukan pula jaminan kebaikan. Bahkan sangat mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Suara rakyat bukanlah suara Tuhan, boleh jadi “suara rakyat adalah suara setan,” terutama di saat kerusakan, kesesatan dan kemaksiatan telah menjadi mental “kebanyakan.”

Betapapun masing-masing orang maupun kelompok mengklaim bahwa kebenaran berada di pihaknya, atau apa yang diperjuangkan adalah kebenaran adanya, yang pasti bahwa kebenaran hakiki diukur dari kesesuaiannya dengan apa yang telah digariskan dan ditetapkan hukumnya oleh AllahSWT.
“Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Rabbmu, sebab itu janganlah sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang ragu.” ( Yunus [10]: 94 )

Apa-apa yang disyariatkan oleh Allah SWT pasti benar dan adil, kendati kebanyakan manusia menolak dan menentangnya. Sebaliknya, apapun yang bertentangan dan tidak sejalan dengan apa-apa yang Allah SWT gariskan, ia adalah kesesatan. Kendati dipoles dengan gaya bahasa yang memikat, mendapat dukungan mayoritas rakyat, umum dilakukan masyarakat dan digembar-gemborkan oleh para pejabat. Banyaknya konsumen dan pelaku sesuatu yang haram, juga tidak mampu mengubah status keburukan menjadi kebaikan, atau kebusukan menjadi nilai kebagusan.

Orang yang berakal akan senantiasa menempuh jalan yang benar, meski jalan itu sepi dan lengang dari teman. Dan ia tetap konsisten pada kebenaran, saat kebenaran disambut oleh kebanyakan orang. Sikapnya tak akan berubah, karena kesetiaannya adalah pada kebenaran, bukan pada kebanyakan. Ia akan mengalir dan berputar kemanapun kebenaran itu mengalir dan berputar. Inilah kunci kebahagiaan dan kesuksesan. Karena itulah, Allah SWT menutup ayat itu dengan, “Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.”
Konsisten kepada kebenaran kapan pun dan di mana pun adalah realisasi takwa, sedangkan takwa adalah kunci tercapainya keberuntungan (al-falah). Syaikh Muhammad bin Shalih al-Ustaimin berkata, makna al-falah adalah tercapainya tujuan dan terhindar dari sesuatu yang dikhawatirkan. Kata ini juga mencakup kebahagiaan atau kesuksesan di dunia maupun akhirat.
Nah, jika kita ingin sukses berarti siap menyertai kebenaran di saat sepi dan dalam keramaian. Siap untuk terasing, tapi juga siap berbaur dengan orang kebanyakan, selagi kebenaran berada di pihak mereka. Wallahu a’lam bishawab. 
*Abu Umar Abdillah, penulis buku tinggal di Solo. SUARA HIDAYATULLAH, SEPTEMBER 2009
Sumber : www.majalah.hidayatullah.com

Sabtu, 01 Januari 2011

RENUNGAN HADITS MINGGU INI


سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ إِمَامٌ عَدْلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَى ذلِكَ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ 
"Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari tidak ada naungan, kecuali naunganNya: Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, seorang laki-laki yang hatinya selalu bergantung kepada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu karenanya dan berpisah karenanya, seorang laki-laki yang diajak berzina oleh perempuan yang memiliki kedudukan dan kecantikan namun ia menjawab: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seorang laki-laki yang bersedekah dengan suatu sedekah, kemudian ia menyembunyikan sedekah tersebut, sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diin-fakkan oleh tangan kanannya, dan seorang laki-laki yang menyebut nama Allah dalam keadaan sendirian lalu berlinanglah air matanya." (HR. Muttafaq 'alaih)
 

Copyright 2008 All Rights Reserved | RENUNGAN ISLAMI Designed by Bloggers Template | CSS done by Link Building