Makin berisi makin merunduk. Begitulah peribahasa 'ilmu padi' yang sering kita dengar. Dalam syari'at Islam yang mulia pun diajarkan hal yang serupa, sifat dan sikap tawadhu'. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan pujian bagi orang-orang yang tawadhu’ dan mengancam orang yang sombong. Tidak ada keutamaan seseorang terhadap yang lain kecuali nilai takwanya. Alloh subhanahu wata'ala berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurot [49]: 13) Maka yang menjadi ukuran adalah ketakwaan, bukan banyaknya harta, tingginya pangkat atau kemuliaan nasab. Takwa adalah barometer dalam segala perkara. Tidak akan bermanfaat harta, pangkat dan keturunan kecuali diiringi dengan takwa. Salah satu perangai ketakwaan yang dianjurkan dalam agama adalah sifat tawadhu’. Definisi Tawadhu’ Tawadhu’ secara bahasa bermakna rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah adalah menampakkan perendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan. Ada juga yang mengatakan tawadhu’ adalah mengagungkan orang karena keutamaannya. Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dan tidak menentang hukum. Tidak ada yang mengingkari, tawadhu’ adalah akhlak yang mulia. Yang menjadi pertanyaan, kepada siapa kita merendahkan hati. Alloh menyifati hamba yang dicintai-Nya dalam firman-Nya; “Yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (QS. al-Maidah [5]: 54). Syarat Tawadhu’ Tawadhu’ adalah akhlak yang agung dan ia tidak sah kecuali dengan dua syarat; Pertama: Ikhlas karena Alloh semata. Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda; “Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Alloh, kecuali Alloh akan angkat derajatnya.” (HR. Muslim: 2588) Kedua: Kemampuan Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan pakaian karena tawadhu’ kepada Alloh padahal dia mampu, maka Alloh akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk hingga Alloh memberinya pilihan dari perhiasan penduduk surga, ia bisa memakainya sekehendaknya.” Keutamaan Tawadhu’ Tidaklah sifat yang terpuji melainkan menyimpan keutamaan. Ini adalah sebagai pendorong bagi kita agar segera berhias dengan sifat tersebut. Di antara keutamaan sifat tawadhu’ adalah; 1. Menjalankan perintah Alloh subhanahu wata'ala Alloh berfirman: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (QS. asy-Syu’aro [26]: 215) Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Maksudnya adalah tawadhu’, karena orang yang sombong melihat dirinya bagaikan burung yang terbang di angkasa, maka Alloh memerintahkan untuk merendahkan sayapnya dan merendahkan diri terhadap orang-orang beriman yang mengikuti Nabi n.” 2. Alloh membenci orang yang sombong Alloh berfirman: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18) Sahabat mulia Ibnu Abbas rodhliyallohu anhu berkata: “Yaitu janganlah kamu sombong, sehingga membawa kalian merendahkan hamba Alloh dan berpaling dari mereka jika mereka berbicara kepadamu.” 3. Perangai hamba yang terpuji Alloh berfirman: “Dan hamba-hamba Alloh yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. al-Furqon [25]: 63) Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan: “Firman Alloh berjalan di atas bumi dengan rendah hati yaitu mereka berjalan dengan tenang, penuh dengan ketawadhu’an, tidak congkak dan sombong.” 4. Jalan menuju surga Alloh berfirman: “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuatkerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Qoshos [28]: 83) 5. Mengangkat derajat seorang hamba Selayaknya bagi setiap muslim untuk berhias diri dengan sifat tawadhu’ karena dengan tawadhu’ tersebut Alloh akan meninggikan derajatnya. Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda; “Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Alloh, kecuali Alloh mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim:2588) Imam an-Nawawi rohimahulloh berkata: “Hadits ini mempunyai dua makna: Pertama: Alloh akan meninggikan derajatnya di dunia, dan mengokohkan sifat tawadhu’nya dalam hati hingga Alloh mengangkat derajatnya di mata manusia. Kedua: Pahala di akhirat, yakni Alloh akan mengangkat derajatnya di akhirat disebabkan tawadhu’nya di dunia. 6. Mendatangkan rasa cinta, persaudaraan dan menghilangkan kebencian Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda: “Sesungguhnya Alloh mewahyukan kepadaku agar kalian tawadhu’, hingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya atas orang lain dan tidak ada lagi orang yang menyakiti atas yang lain.” (HR. Muslim: 2865) Macam-macam Tawadhu’ Pertama: Tawadhu’ yang terpuji Yaitu tawadhu’nya seorang hamba ketika melaksanakan perintah Alloh dan meninggalkan larangan-Nya. Karena jiwa ini secara tabiat akan mencari kesenangan dan rasa lapang serta tidak ingin terbebani sehingga akan menimbulkan keinginan lari dari peribadatan dan tetap dalam kesenangannya. Maka apabila seorang hamba mampu menundukan dirinya dengan melaksanakan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya, sungguh ia telah tawadhu’ dalam peribadatan. Kedua: Tawadhu’ yang tercela Yaitu tawadhu’nya seseorang kepada orang yang mempunyai pangkat dunia karena berharap mendapat bagian dunia darinya. Orang yang memiliki akal sehat dan selamat tentunya ia akan berusaha meninggalkan tawadhu’ tercela ini dan akan berusaha berhias dengan sifat tawadhu’ yang terpuji. Tingkatan Tawadhu’ Pertama: Tawadhu’ di dalam agama Yaitu patuh dan mengerjakan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shollallohu alaihi wassalam secara pasrah, tunduk dan taat. Hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan tiga perkara; a. Tidak mempertentangkan ajaran yang dibawa oleh Nabi shollallohu alaihi wassalam dengan akal, analogi, perasaan, atau siasat. b. Tidak menuduh bahwa dalil-dalil dalam agama ini adalah cacat dan jelek serta berprasangka bahwa dalil-dalil agama ada yang kurang, atau yang lainnya lebih utama. Barangsiapa yang terlintas dalam pikirannya hal seperti ini, maka salahkanlah pemahamannya. c. Tidak menyelisihi nash dan dalil yang telah tetap. Kedua: Menerima kebenaran dari orang yang dicintai atau yang dibenci Tidak termasuk sikap tawadhu’ adalah menolak kebenaran dikarenakan ia berasal dari musuh. Ketiga: Menjunjung al-haq Yaitu menjadikan al-haq dan perintah sebagai dasar perbuatan dan menjalankan ibadah kepada Alloh semata-mata karena perintah dari Alloh dan bukan karena kebiasaan atau hawa nafsu. Tawadhu’ Dan Menghinakan Diri Kita sering mendengar istilah tawadhu’ dan menghinakan diri. Keduanya sangat berbeda. Sifat tawadhu’ muncul karena atas dasar ilmu dan pengetahuannya kepada Alloh dan karena pengagungan dan kecintaan kepadaNya serta kesadaran mengintropeksi terhadap aib pribadi. Semua hal tersebut melahirkan sifat tawadhu’ dalam dirinya. Hatinya tunduk kepada Alloh, patuh dan berserah diri serta mempunyai sifat kasih sayang kepada manusia. Ia melihat tidak mempunyai keutamaan atas orang lain dan tidak merasa benar sendiri atas orang lain. Akhlak semacam ini hanyalah pemberian Alloh kepada hamba-Nya yang dicintai dan yang dimuliakan serta dekat kepadaNya. Adapun menghinakan diri adalah merendahkan dan menghinakan dirinya kepada orang lain untuk meraih bagian dan kelezatan syahwatnya. Seperti perendahan diri karyawan karena ingin mendapat sesuatu yang diinginkan dari atasannya, kepatuhan orang yang diajak maksiat kepada orang yang mengajaknya, atau kepatuhan orang yang ingin meraih bagian dunia kepada orang yang ia harapkan. Semua ini adalah bentuk penghinaan diri dan bukan tawadhu’. Alloh hanya mencintai orang-orang yang tawadhu’ dan membenci perendahan dan penghinaan diri. Imam Ahmad bin Abdurrohman al-Maqdisi rohimahulloh mengatakan: “Sikap pertengahan adalah dengan tawadhu’ tanpa merendahkan diri, dan ini adalah terpuji. Sikap tawadhu’ yang terpuji adalah dengan berbuat adil, yaitu memberikan kepada setiap orang yang mempunyai kedudukan haknya.” Kiat Menggapai Tawadhu’1. Berfikirlah dari apa kita diciptakan Jika seorang muslim bisa mengukur diri, dan menyadari siapa dirinya, dia akan menilai bahwa dirinya adalah insan yang rendah dan hina. Karena manusia bila dilihat dari asal penciptaan berasal dari setetes mani yang keluar dari saluran air kencing, kemudian menjadi segumpal darah, segumpal daging dan akhirnya menjadi seorang insan. Berawal dari tidak bisa mendengar, tidak melihat dan lemah kemudian menjadi insan yang sempurna penciptaannya. Alloh berfirman: “Dari apakah Alloh menciptakannya? dari setetes mani, Alloh menciptakannya lalu menentukannya. kemudian Dia memudahkan jalannya.” (QS. ’Abasa [80]: 18-20) Alloh juga berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat.” (QS. al-Insan [76]: 2) Apabila kondisi manusia seperti ini, mengapa ia sombong dan tidak tawadhu’?! Imam Ibnu Hibban mengatakan: “Bagaimana mungkin seseorang tidak tawadhu’ padahal ia diciptakan dari setetes mani yang hina dan akhir hidupnya ia akan kembali menjadi bangkai yang menjijikkan serta kehidupannya di dunia ia membawa kotoran?” 2. Kenalilah diri Anda Alloh berfirman: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi inidengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. al-Isro’ [17]: 37) Syaikh Muhammad Amin as-Syinqithi berkata: “Wahai orang yang sombong, engkau adalah orang yang lemah, hina dan terbatas di dunia ini. Bumi yang engkau berpijak di atasnya, engkau tidak bisa berbuat apapun walaupun engkau injak dengan sekuat tenaga. Jangan angkuh, jangan berjalan di muka bumi ini dengan sombong.” Potret Tawadhu’ Rosululloh shollallohu alaihi wassalam |
Minggu, 12 Desember 2010
Menumbuhkan Sifat Tawadhu Oleh: Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar