Ketahuilah, semua yang terjadi di alam ini telah ada ketetapannya. Tidak ada satu perkara pun yang bergeser dan menyimpang dari apa yang telah ditetapkan Allah SWT. Allah telah menetapkan takdir seluruh makhluk, semenjak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah menetapkan takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim)
Dalam kaitan ini, maka wajib bagi seluruh manusia untuk beriman kepada takdir Allah, yang baik maupun yang buruk. Allahlah yang telah membagi rezeki, menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji hamba-Nya, menentukan apakah seorang hamba tersebut termasuk yang bahagia atau sengsara ketika di dunia. Allah juga telah menetapkan ajal seseorang, dan memastikan pula tempat tinggalnya di akhirat kelak, surga ataukah neraka. Semua yang terjadi adalah berdasarkan iradah-Nya, kehendak Allah.
Kemudian, sebagaimana yang kita rasakan, manusia hidup di dunia ini tak pernah lepas dari kesusahan, kesengsaraan dan kesedihan. Ini semua merupakan ujian yang selalu datang silih berganti. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah/2: 155).
Hikmah yang bisa diambil dengan adanya berbagai cobaan ini, ialah untuk membedakan antara orang yang benar dan orang yang dusta dalam pengakuannya terhadap keimanan kepada Allah. Allah SWT berfirman : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut /29:2-3).
Dengan adanya cobaan, maka seseorang akan mengetahui tentang dirinya dan hakikat keimanannya. Seseorang tidak bisa mengaku telah benar-benar beriman kepada Allah, sebelum datang ujian kepada dirinya dan ia pun mampu untuk bertahan dengan kesabaran.
Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang menginginkan selalu mendapatkan kekekalan dan kesejahteraan tanpa merasakan cobaan, maka dia belum memahami hakikat hidup dan penghambaan diri kepada Allah.”
Begitu pula dengan seorang mukmin. Dia pun mendapatkan ujian, dan tidak lain kecuali sebagai tarbiyah, bukan sebagai siksa. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ujian, baik dalam keadaan suka maupun duka.
“Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al A’raf /7: 168).
“Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al A’raf /7: 168).
Sesuatu yang kita benci terkadang membawa kebaikan, dan sesuatu yang kita sukai terkadang berujung dengan kesengsaraan. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita dalam firman-Nya : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.” (QS. Al Baqarah/2: 216)
Setelah memahami, bahwa dunia ini penuh ujian, maka marilah kita mempersiapkan diri sebelum cobaan itu benar-benar datang. Yaitu dengan mempertebal keimanan kepada Allah. Sehingga saat menghadapi cobaan, kita tidak berkeluh-kesah, dan semua akan terasa ringan. Kita harus yakin, ujian atau musibah itu pasti ada akhirnya. Jangan sampai musibah tersebut membuat kita menjadi gelap mata, sehingga mulut mengeluarkan perkataan yang dapat membinasakan. Atau jangan sampai perbuatan kita membuat diri menjadi binasa. Ringankanlah setiap beban dengan selalu mengingat pahala dan ridha yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ingatlah orang-orang yang sabar dalam menghadapi musibah, ia dijanjikan oleh Allah dengan pahala yang besar, bahkan akan dilipatgandakan dengan yang lebih besar lagi. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka,” (QS. Al Qashash/28: 54).
Dengan cobaan ini pun, derajat seseorang akan terangkat. Pahalanya akan ditambah, dan dosa-dosanya akan dihapuskan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang orang yang paling berat cobaannya. Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Para nabi, kemudian orang yang terbaik lalu yang baik. Seseorang akan diberi cobaan sesuai dengan (kadar) diennya (agamanya). Jika agamanya kuat, maka cobaan aka berat. Namun bila agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan diennya. Cobaan itu akan senantiasa ada pada diri seseorang mukmin, sehingga dirinya dibiarkan berjalan di muka bumi dengan tidak memiliki dosa.” (HR. at Tirmidzi: 8/417)
Cobaan itu memang berat dan menyesakkan sehingga tidak setiap orang mampu menghadapinya. Lihatlah, bagaimana berat dan sedihnya Nabi Adam as ketika dikeluarkan dari surga untuk menempati dunia. Padahal beliau telah lama tinggal di surga dan sudah merasakan berbagai kenikmatan. Begitu juga Nabi Ibrahim as. Yaitu tatkala beliau dibakar api oleh kaumnya, serta ketika disuruh menyembelih anak semata wayangnya yang paling beliau kasihi. Lihatlah Nabi Ayyub as, ketika mendapat cobaan sakit sampai sekian tahun. Ingatlah ketika Nabi Yunus as, ketika berada dalam perut ikan, ingatlah Nabi Yusuf as, ketika difitnah dan dimasukkan penjara sampai sekian tahun. Begitu pula yang dialami Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdakwah di tengah-tengah kaum jahiliyah kafir Quraisy. Maka benarlah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan bagi dirinya, maka orang tersebut akan diberi cobaan.” (HR. Bukhari).
Jika kita ditimpa cobaan, maka tetaplah bersabar. Jangan berputus asa dari rahmat Allah. Semua cobaan pasti ada akhirnya, dan pasti ada jalan keluarnya. Putus asa bukanlah sifat seorang mukmin. Kenapa kita harus meratapi satu atau dua cobaan, kemudian melalaikan nikmat-nikmat Allah lainnya yang begitu banyak jumlahnya? Cobalah hitung, berapa banyak nikmat yang telah kita peroleh, sejak kita dilahirkan sampai sekarang ini? Dengan selalu berdo’a, Allah pasti mendengar dan pasti akan mengabulkan permintaan kita, yaitu dengan meringankan atau menghilangkan cobaan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al An’am/ 6:17).
Lihatlah usaha para suri tauladan kita, yaitu para Nabi ketika mereka mendapatkan cobaan dari Allah. Sebagai contoh, yaitu Nabi Ayyub as. Ketika anaknya meninggal dunia satu persatu, dan beliau pun menderita sakit yang sangat parah, beliau tidak putus asa. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisahkannya dalam al Qur’an : “Ya'qub berkata : "Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. Yusuf / 12:83).
Keadaan dan nasib seseorang suatu saat pasti ada perubahan. Seorang yang berbahagia, ialah orang yang senantiasa mampu menjaga ketakwaannya kepada Allah, meskipun ia didera berbagai musibah. Maka, marilah kita menjaga ketakwaan kepada Allah dalam setiap kondisi. Tidak ada kesempitan, kecuali pasti ada keluasannya. Tidak ada rasa sakit, kecuali pasti ada kesembuhannya. Tidak ada kefaqiran, kecuali ada kekayaan. Dan begitulah seterusnya.
Akhirnya, marilah kita renungkan perkataan Nabi Dawud bin Sulaiman as. Beliau berkata, “Yang menjadi dasar ketakwaan seseorang itu ada tiga : (1) memperbagus tawakkal terhadap apa yang belum didapat, (2) memperbagus ridha dari apa yang telah didapat, dan (3) memperbagus sabar dari apa yang terlewatkan.”
Wallahu a’lam bish-Shawab.
Sumber : http://zaenaltegal.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar