Hukum hadiah yang ditujukan kepada pejabat biasa
di bahas para ulama ketika membicarakan hukum hadiah untuk seorang hakim. Namun
ketentuan ini juga berlaku untuk semua pejabat negara, anggota DPR dll.Dalam Duror al Hukkam fi Syarh Majallah al Ahkam al
Adliyyah 13/95-98
disebutkan,“Hukum menerima hadiah yang diberikan karena yang
diberi hadiah punya jabatan tertentu hukumnya adalah haram karena ketika
Rasulullah mengetahui ada seorang pegawai baitul mal menerima hadiah Nabi berkhutbah di atas mimbar seraya
berkata, “Andai dia duduk di rumah ibu dan bapaknya,
apakah dia akan mendapatkan hadiah?!” (HR Bukhari). Demikian juga ketika
Khalifah Umar mengetahui ada seorang pegawai baitul mal yang pulang membawa
banyak hadiah, beliau menanyainya, “Dari mana kau dapatkan barang-barang ini?”.
Pegawai tersebut mengatakan bahwa itu adalah hadiah. Mendengar jawaban tersebut
beliau lantas membacakan sabda Rasul di atas dan menetapkan hadiah-hadiah
tersebut untuk baitul maal.Umar
bin Abdul Aziz berkata :
إنَّ الْهَدَايَا
كَانَتْ هَدَايَا فِي عَهْدِ الرَّسُولِ أَمَّا فِي زَمَانِنَا فَقَدْ أَصْبَحَتْ
رِشْوَةً
“Hadiah adalah hadiah di masa Rasulullah. Sedangkan di
zaman kita telah berubah menjadi suap”.
Dengan pertimbangan tersebut maka tidak
diperbolehkan (bagi
pejabat, pent) untuk menerima hadiah yang bukan berasal dari orang yang telah
menjadi teman dan koleganya (sebelum punya jabatan, pent). Karena hadiah yang
tidak seperti itu adalah suap
terselubung. Semua hadiah yang diterima para pejabat negara itu hukumnya sama
dengan hadiah yang diterima oleh seorang hakim.
Hadiah bisa dibagi menjadi tiga kategori:
(1) Hadiah yang halal untuk penerima dan pemberi. Itulah hadiah yang diberikan bukan untuk hakim dan pejabat semisal
hadiah seorang teman untuk temannya. Seorang hakim atau pejabat negara tidak
boleh menerima hadiah jenis pertama ini dari orang lain. Dengan kata lain,
menerima hadiah yang hukumnya halal untuk umumnya orang. Itu hukumnya berubah
menjadi haram dan berstatus suap jika untuk hakim dan pejabat. Hadiah yang jadi
topik utama kita saat ini adalah hadiah jenis ini.
(2)
Hadiah yang haram untuk pemberi dan penerima semisal hadiah untuk
mendukung kebatilan. Penerima dan pemberi hadiah jenis ini berdosa karena telah
melakukan suatu yang haram. Hadiah semisal ini wajib dikembalikan kepada yang
memberikannya. Hadiah jenis ini haram untuk seorang hakim maupun orang biasa.
(3) Hadiah yang diberikan oleh seorang yang merasa
takut terhadap gangguan orang yang diberi, seandainya tidak diberi baik
gangguan badan ataupun harta. Perbuatan ini boleh
dilakukan oleh yang memberi namun haram diterima
oleh orang yang diberi. Karena tidak mengganggu orang lain itu
hukumnya wajib dan tidak boleh menerima kompensasi finansial untuk melakukan
sesuatu yang hukumnya wajib.
Seorang
hakim tidak boleh menerima hadiah meski bukan dari orang yang sedang
berperkara. Seorang hakim (dan pejabat, pent) haram menerima hadiah baik
nilainya banyak ataupun sedikit bahkan meski barang yang remeh baik setelah
menjatuhkan keputusan ataupun sebelumnya.
Seorang
hakim (demikian pula pejabat, pent) tidak boleh meminjam barang, mencari hutang
atau membeli barang dari seseorang dengan harga kurang dari harga standar.
Demikian juga tidak boleh menerima suap dari pihak yang benar maupun pihak yang
salah dari pihak yang sedang bersengketa.
Seorang
hakim (dan pejabat, pent) wajib memulangkan hadiah kepada orang yang
memberikannya. Jika hadiah tersebut telah dikomsumsi maka wajib diganti dengan
barang yang serupa.
Jika
yang memberi hadiah tidak diketahui keberadaannya atau diketahui namun
memulangkan hadiah adalah suatu yang tidak mungkin karena posisinya yang
terlalu jauh, maka barang tersebut hendaknya dinilai sebagai barang temuan (luqothoh) dan diletakkan di baitul maal.
Pemberian
hadiah kepada seorang hakim itu karena posisinya sebagai hakim sehingga hadiah
tersebut merupakan hak masyarakat umum.
Oleh karena itu, wajib diletakkan di baitul maal yang memang dimaksudkan untuk
kepentingan umum. Namun status barang ini di baitul maal adalah barang temuan artinya jika yang
punya sudah diketahui maka barang tersebut akan diserahkan kepada pemiliknya.
Jika
seorang hakim (atau pejabat, pent) berkeyakinan bahwa menolak hadiah yang
diberikan oleh orang yang punya hubungan baik dengannya itu menyebabkan orang
tersebut tersakiti, maka hakim boleh menerima hadiah tersebut asalkan setelah
menyerahkan uang senilai barang tersebut kepada orang yang memberi hadiah.
Seorang
hakim (atau pejabat, pent) boleh menerima hadiah dari tiga macam orang:
1.
Dari orang yang mengangkatnya sebagai
hakim dan orang yang jabatannya lebih tinggi darinya. Namun bawahan tidak boleh
memberi hadiah kepada atasannya.
2.
Dari kerabat yang masih berstatus
mahram dengan syarat kerabat tersebut tidak sedang mendapatkan masalah. Menolak
hadiah dari kerabat yang masih mahram itu menyebabkan putusnya tali silaturahmi
dan ini haram.
Namun sebagian ulama mempersyaratkan bahwa sebelum diangkat sebagai hakim
antara hakim dan kerabatnya tersebut telah biasa saling memberi hadiah.
3.
Dari sahabat dan orang-orang yang
punya hubungan baik yang telah biasa memberi hadiah sebelum hakim ini menjabat
sebagai hakim dengan catatan hadiah tersebut nilainya tidak lebih dari nilai
hadiah sebelum diangkat sebagai hakim. Dalam kondisi ini hadiah bukanlah karena
jabatan namun karena mempertahankan kebiasaan sehingga tidak dikhawatirkan
berfungsi sebagai suap. Cukup sekali untuk bisa disebut punya kebiasaan memberi
hadiah. Syarat yang lain, pemberi hadiah tidak sedang memiliki kasus. Jika
pemberi hadiah sedang memiliki kasus maka hakim wajib memulangkan semua hadiah
karena dalam hal ini sebab hadiah adalah jabatan sebagai hakim. Setelah kasus
orang tersebut berakhir hakim tetap tidak boleh menerima hadiah orang tersebut
yang sebelumnya sudah biasa memberi hadiah.
Jika
ada orang yang biasa memberi hadiah sebelum memiliki jabatan namun setelah
menjabat nilai hadiahnya bertambah maka wajib memulangkan ‘tambahan nilai’ yang diberikan dikarenakan jabatan. Namun
jika ‘nilai tambahan’ tersebut tidak bisa
disendirikan maka keseluruhan hadiah wajib dipulangkan.
Misal sebelum menjabat
orang tersebut biasa memberi hadiah kain dari kapas. Tapi setelah menjabat,
hadiahnya berupa kain sutra. Dalam kondisi ini keseluruhan hadiah wajib
dipulangkan karena ‘nilai tambahannya’ tidak bisa dipisahkan.
Ini berlaku jika
harta yang memberi hadiah tidak bertambah banyak setelah orang tersebut punya
jabatan. Artinya jika ‘nilai tambahan’ tersebut dikarenakan yang biasa memberi
hadiah memang telah makin kaya maka hakim (atau pejabat tersebut, pent) boleh
menerima ‘nilai tambah’ tadi.
Sumber : http://ustadzaris.com